By. Esra Alfred Soru
Persoalan yang tidak kalah kontroversialnya pada kekristenan masa kini di samping persoalan tentang baptisan air adalah tentang bahasa roh. Tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan pemahaman tentang bahasa roh telah memisahkan gereja-gereja Kristen pada kelompok-kelompok yang berseberangan. Herlianto dalam tulisannya tentang karunia berbahasa lidah ini memulainya dengan mengutip apa yang dikatakan Wayne House:
“Dari
semua subyek pembahasan yang dibicarakan dalam lingkup kekristenan,
mungkin hanya sedikit yang mendapat lebih banyak perhatian daripada
subyek berbahasa lidah".
Ia menambahkan :
“Meskipun
tulisan-tulisan tentang subyek ini sudah begitu banyak, diskusi tentang
isu ini terus berlangsung sampai saat ini. Patutlah kita catat bahwa
"berbahasa lidah" telah menjadi salah satu penyebab utama perpecahan dalam gereja.
Ratusan, bahkan ribuan gereja telah terpecah-belah. Pendeta-pendeta
dilarang berkhotbah di mimbar, anggota-anggota gereja dikucilkan, dan
teman menjadi lawan"
Sedangkan John F. Mac Arthur, Jr ketika membahas persoalan mengenai bahasa roh berkata bahwa :
“Tak pelak lagi bahwa karunia paling kontroversial yang berhubungan dengan gerakan Kharismatik adalah “bahasa roh”. Berlusin-lusin
buku pro, kontra dan netral telah ditulis mengenai bahasa roh. Sebagian
memberikan pandangan positif, menggambarkan bahasa roh sebagai summum bonum
(manfaat bagi kebanyakan orang) rohani, suatu pengalaman tak
terbandingkan untuk mendekatkan orang kepada Yesus...Namun lainnya
mengecam bahasa roh sebagai sesuatu yang berbahaya atau mengecoh”
Kontroversi
ini semakin kuat karena diwarnai dengan sikap-sikap ekstrim yang
menyertainya sebagaimana diungkapkan J. Sidlow Baxter :
‘Dewasa ini ada gerakan-gerakan Kristen yang menekankan hal ‘berkata-kata dengan bahasa roh’...Ada yang mengajarkan bahwa segala karunia Roh dimaksudkan untuk harus diterima oleh semua orang percaya. Mereka mendesak orang percaya untuk menerima ‘baptisan Roh Kudus’, yang menurut mereka akan membawa segala karunia Roh itu. Mereka berkata, tanda bahwa seseorang telah menerima baptisan Roh Kudus ialah bisa berkata-kata dengan bahasa roh. Mereka menasihatkan orang agar jangan puas sebelum beroleh bukti baptisan itu. Mereka berpendapat, karunia Roh ini, terutama bahasa roh, dan karunia menyembuhkan, membuktikan taraf rohani yang lebih tinggi’.
dan hal ini tentu saja membingungkan
cukup banyak di antara jemaat Kristen yang sementara mencari-cari dan
bertanya-tanya tentang pokok ini lebih dalam. Baxter melanjutkan :
‘Termasuk
orang-orang yang mengajar demikian, ada banyak yang rohani dan indah
budi pekertinya. Tapi pada lain pihak, ribuan orang Kristen telah dibawa
masuk ke dalam perhambaan dan kebingungan. Lagi pula berkata-kata
dengan bahasa roh seringkali berasal dari iblis, bukan dari Roh Kudus’.
Untuk itu kita wajib mempelajari dan mengajarkan doktrin ini dengan seksama. Tony Campolo menulis:
"Adalah
kewajiban setiap orang Kristen untuk meneliti dengan seksama apa yang
sedang terjadi dengan semua fakta yang berhubungan dengan fenomena agama
yang sedang berkembang ini. Hal ini amat penting mengingat begitu
banyak ketidakaslian dan penipuan dalam Pentakostalisme".
Dan tentunya jawaban akurat bagi semua pertanyaan kita haruslah datang dari Alkitab selaku Firman Allah yang hidup.
Persoalan
pertama yang perlu kita angkat dalam hubungan dengan masalah bahasa roh
ini adalah pengertian dari bahasa roh itu sendiri? Apakah bahasa roh
itu sesungguhnya? Hal ini
penting karena jika kita tidak sepakat tentang pengertian bahasa roh ini
maka mustahil kita dapat memahami konsepnya dengan lebih dalam dan
benar.
Istilah bahasa roh dalam bahasa Yunaninya ialah “glossalalia”. Kata “glossalalia” ini sebenarnya berasal dari dua kata yakni “glossa” dan “lalein”. “Glossa” berarti “lidah” sebagai ‘an organ of speech’ (Yak 3 :5-9) atau sebagai alat tubuh untuk merasai (Luk 16 :24). Selain itu kata ini juga bisa diartikan sebagai “bahasa” yakni sistem
perkataan-perkataan yang dipakai oleh bangsa atau kelompok tertentu,
misalnya Yes 45 :23 ; Kis 2 :6, 11, Wah 5 :9, dll. A.M. Macdonald memberi keterangan bahwa kata ini bisa berarti ‘tongue’ bisa juga berarti ‘a word requizing explanation’. Sedangkan kata “lalein” berarti berbicara/berkata-kata. Jadi secara hurufiah, glossalalia berarti berbicara dengan lidah atau berkata-kata dengan bahasa. Itulah sebabnya bahasa roh ini sering juga disebut dengan istilah ‘bahasa lidah’. Njiolah memberikan keterangan tambahan bahwa dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, fenomena ‘glossalalia’ ini bisa diungkapkan dengan menggunakan kata kerja ‘lalein’ plus kata benda ‘glossa’, baik tunggal maupun jamak dalam kasus dativus. Karena itu, sering ditemukan ungkapan ‘lalein (en) glosse’ yang berarti ‘berbicara (berkata-kata) dengan (dalam) lidah (bahasa)’, atau ‘lalein (en) glossais’ yang berarti ‘berbicara (berkata-kata) dengan (dalam) lidah-lidah (bahasa-bahasa)”. Istilah ini di dalam Alkitab nampak dalam tiga kitab berbeda yakni Markus (pasal 16), Kisah Para Rasul (pasal 2, 10 dan 19) dan 1 Korintus (pasal 12-14). Perhatikanlah beberapa ayat di antaranya Mark 16 :17 :
“Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya, mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka”. (Yun : Seemeía dé toís pisteúsasin taúta parakoloutheései En toó onómatí mou daimónia ekbaloúsin Gloóssais laleésousin kainaís).
Kis 2:4 :
“Maka
penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam
bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka
untuk mengatakannya” (Yun : Kaí epleéstheesan pántes Pneúmatos Hagíou kaí eérxanto laleín hetérais gloóssais kathoós tó Pneúma edídou apofthéngesthai autoís).
Kis 10 :46 :
“Sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh dan memuliakan Allah..’ (Yun : Eékouon gár autoón laloúntoon gloóssais kaí megalunóntoon tón Theón...).
Kis 19 :6 :
‘Dan
ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke
atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan
bernubuat’ (Yun : Kaí epithéntos autoís toú Paúlou tás cheíras eélthe tó Pneúma tó Hágion ep autoús eláloun te gloóssais kaí eprofeéteuon). 1 Kor 12-14 yang membahas bahasa roh lebih luas, juga memakai kata “glossa”.
Kata “glossa” ini,
sama seperti pengertian hurufiahnya adalah kata yang umum dalam bahasa
Yunani untuk “bahasa”. Beberapa kali dalam PB istilah ini dimaksudkan
sebagai bahasa manusia, tetapi inilah kata yang umum yang digunakan
untuk bahasa, bahkan dalam Septuaginta (LXX) kata ini digunakan sebanyak
30 kali dan selalu berarti bahasa manusia biasa yang bisa dimengerti.
Jadi sesungguhnya ini adalah bahasa manusia biasa, bahasa dunia yang
digunakan sehari-hari, bahasa yang dikenal dan bukanlah suatu bahasa
aneh, bahasa ‘surgawi’, atau suatu bahasa ekstatik yang sama sekali
tidak bisa dikenali. Pengertian semacam ini akan lebih kuat jika kita memperhatikan beberapa argumentasi di bawah ini :
1. Kis
2:4 mengatakan bahwa setelah penuh dengan Roh Kudus, murid-murid mulai
berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh
itu kepada mereka untuk mengatakannya. Bahasa apakah ini? Apakah ini
adalah suatu bahasa ‘surgawi’? Apakah ini adalah suatu bahasa ekstase
religius yang tidak dikenali? Tidak! Albert Barnes mengatakan bahwa “The languages which they spoke are specified in Acts 2:9-11 (bahasa-bahasa lain yang dikatakan mereka dinyatakan dalam Kis 2:9-11)
yakni bahasa Partia, Media, Elam, Mesopotamia, Yudea, Kapodokia,
Pontus, Asia, Frigia, Pamfilia, Mesir, Libia dan Roma. Ini adalah
bahasa-bahasa di dunia (bukan bahasa ‘surgawi’) yang dikenali dan
dimengerti oleh pendengarnya sebagaimana kata ayat 8 :
“Bagaimana
mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa
kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita”.
Menurut Billy Graham:
“Bahasa-bahasa
lidah ini adalah bahasa yang dimengerti oleh orang-orang dari seluruh
kekaisaran Roma yang datang ke Yerusalem untuk Pentakosta”.
Richard Longenecker mencatat bahwa :
“Para
murid yang berkata-kata itu orang Galilea, tentunya tidak berbicara
dalam bahasa mereka, di mana umumnya dianggap tidak berpendidikan dan
tidak berbudaya. Ucapan orang Galilea segera menunjukkan asalnya, karena
mereka tidak dapat mengucapkan suara guteral (suara yang dikeluarkan
dari tenggorokan) dan cenderung menelan suku kata tertentu. Karena
itu, orang Galilea dicemooh oleh orang dari kota besar seperti dari
Yerusalem. Maka, bagaimana mungkin para murid yang tidak berpendidikan
dapat mengucapkan bahasa-bahasa dari bangsa lain dengan lancar dan baik?
Tidak heran bahwa orang-orang yang mendengar para murid waktu itu
menjadi tercengang”.
Selain itu pula Kis 2 :6-8 ternyata menggunakan kata “dialektos”. Perhatikan ayat 6-8 dalam teks Yunaninya :
Genoménees dé teés fooneés taútees suneélthen tó pleéthos kaí sunechúthee hóti eékouon heís hékastos teé idía dialéktoo
laloúntoon autoón. Exístanto dé kaí ethaúmazon légontes. Ouch idoú
hápantes hoútoí eisin hoi laloúntes Galilaíoi. Kaí poós heemeís akoúomen
hékastos teé idía dialéktoo heemoón en heé egenneétheemen.
Kata “dialektos” ini berarti dialeg atau logat. Jadi ini adalah bahasa manusia dan logat manusia. Mengomentari ayat ini, John F. Mac Arthur, Jr berkata bahwa :
“…sebagian
dari mereka yang hadir pada Pentakosta mendengar pesan Allah
diberitakan dalam bahasa mereka sendiri, sebagian lagi dalam dialek
(logat) mereka. Penggolongan seperti bahasa dan logat tak akan dapat
dipakai kalau yang muncul adalah bahasa ekstatik “.
2. Kalau kita memperhatikan dengan seksama, ternyata bahwa di seluruh kitab Kisah Para Rasul istilah Yunani untuk bahasa roh yakni “glossa” (Kis 10:46; 19:6) selalu ditulis dalam bentuk jamak (glossais) yang berarti keanekaragaman bahasa. Dari bentuk jamak ini saja jelas menunjuk kepada bahasa yang dikenali. Mac Arthur, Jr kembali berkata :
‘Ricuan
(bahasa yang tidak dimengerti) tidak mungkin muncul dalam bentuk jamak
karena bentuk seperti itu tidak mungkin jamak. Ricuan tak mungkin
digolongkan lebih dari satu’.
Bentuk
jamak ini juga nampak dalam 1 Kor 14 dan menariknya adalah bahwa setiap
kali Paulus ingin menggambarkan bahasa roh palsu (yang tidak
dimengerti), justru ia menggunakannya dalam bentuk tunggal seperti dalam
ayat 2, 4, 13, 14 dan 19. Apa yang dikatakan Mac Arthur ini benar jika
dibandingkan dengan keterangan dari Alexander Souter bahwa penggunaan
kata “glossa” ini ‘usually in the plural’ (pada umumnya dalam bentuk jamak).
3. Hal
lain yang juga mendukung pengertian ini adalah bahwa dalam 1 Kor 12:10
ketika Paulus mengacu pada masalah penafsiran bahasa roh ini, ia
menggunakan kata “hermeneuo”. Perhatikan teks aslinya :
álloo dé energeémata dunámeoon álloo dé profeeteía álloo dé diakríseis pneumátoon hetéroo génee gloossoón álloo dé hermeeneía gloossoón.
Kata ‘hermeneuo’ ini berarti ‘terjemahan’. Karena
yang dibicarakan adalah masalah terjemahan maka dapat dipastikan bahwa
ini adalah bahasa yang bisa dikenali/dimengerti sebagaimana kata Mac
Arthur :
‘Yang
bisa diterjemahkan adalah bahasa yang baik di mana kita mengambil satu
bahasa yang satu dan diterjemahkan ke bahasa yang lain sehingga bisa
dimengerti. Ricuhan dan bahasa ekstatik tidak bisa diterjemahkan dengan
baik’
maupun S. Lewis Johnson, Jr yang ketika membicarakan karunia menafsirkan bahasa roh mengatakan bahwa :
“having to do with known languages rather than with ecstatic utterance, …” (yang ada hubungannya dengan bahasa yang dikenal dan bukan ucapan ketika mengalami ekstase).
Kata yang sama juga nampak dalam 1 Kor 14 :27.
Dari
data-data ini dapat kita simpulkan bahwa bahasa roh/bahasa lidah yang
sesungguhnya menurut konsep Alkitab bukanlah suatu bahasa dari luar
dunia ini (bahasa ‘surgawi’), bukan suatu bahasa ekstase (yang
mengeluarkan bunyi-bunyi aneh seperti desisan-desisan tak dikenali dan
kata-kata yang diucapkan berulang-ulang laksana sebuah mantera) seperti
yang menjadi trend saat ini, bukan suatu bahasa yang tidak dapat
dimengerti seperti yang disangka banyak orang. Charles C. Ryrie
mendefinisikan bahasa roh/bahasa lidah sebagai : ‘Kemampuan yang diberikan Allah untuk berbicara dalam suatu bahasa dunia yang tidak dikenal oleh orang yang berbicara’. Kalau demikian muncul pertanyaan, di manakah nilai supranatural dari bahasa roh? Nilai
supranatural atau adikodrati dari bahasa roh ini tidak terletak kepada
jenis bahasanya (dalam artian bahasa ekstatik) melainkan pada kemampuan
berbicara bahasa-bahasa lain tanpa pernah mempelajarinya terlebih dahulu
sebagaimana kata George E. Ladd :
“By
a miracle the language of the apostles was translated by the Holy
Spirit into many diverse languages without a human translator” (melalui mujizat, bahasa para rasul itu diterjemahkan oleh Roh Kudus ke dalam berbagai bahasa tanpa penerjemah manusia).
Jadi ini sama dengan ‘Angalai’
yang tiba-tiba berbahasa Spanyol tanpa pernah mempelajarinya terlebih
dahulu. Walaupun mungkin orang yang mendengarkannya tidak mengerti
bahasa Spanyol namun bahasa Spanyol itu ada di dunia ini dan digunakan
oleh orang Spanyol, bukan sebuah bahasa dari luar dunia. Inilah bahasa
roh yang Alkitabiah.
Sebuah Contoh
Untuk
menggambarkan seperti apakah bahasa roh dalam pengertian di atas,
baiklah kita perhatikan satu contoh/kisah nyata yang diceritakan oleh
Stephen Tong sebagai berikut :
‘Pernah
suatu kali di Rusia, ada seorang pengkhotbah Amerika yang berkeliling
memberitakan Injil. Selama itu, ada seorang pemuda Gereja Baptis
setempat dengan setia menjadi penerjemahnya ke dalam bahasa Rusia.
Pengkhotbah Amerika itu dengan setia memberitakan Injil ke gereja-gereja
bawah tanah di Rusia. Pada suatu hari, ketika ia datang mau berkhotbah,
orang memberitahu kepadanya bahwa ia tidak dapat lagi berkhotbah,
karena pendengar tidak mengerti bahasa Inggris, sedangkan pendengarnya
sudah ditangkap oleh KGB. Ia sedih sekali dan ia berdoa dengan sungguh.
Malam itu ia tetap ke tempat kebaktian, tidak ada orang yang dapat
menerjemahkannya. Tuhan bekerja di dalam hatinya dan ia mulai
berkhotbah. Ketika ia berkhotbah, semua yang mendengar, mendengarnya
dalam bahasa Rusia.
Stephen Tong mengakhiri ceritanya dengan berkata “Hal ini terjadi dan inilah karunia Roh Kudus yang sejati. Mungkin apa yang dikatakan Stephen Tong ini dilihat sebagai mujizat
pendengaran (terjadi pada telinga pendengar) dan bukan mujizat perkataan
(terjadi pada lidah pembicara seperti para rasul) namun baiklah kita
simak kata-kata Donald Guthrie, seorang pakar Perjanjian Baru dari
Inggris :
‘Tidak
jelas apakah Lukas memahami mujizat itu sebagai mujizat percakapan atau
mujizat pendengaran, tetapi ia tidak sangsi bahwa itulah pekerjaan Roh
Kudus’
Bagaimana Dengan Kita, Kini dan Di sini?
Setelah
melihat pengertian bahasa roh yang Alkitabiah, biarlah sejenak kita
merenungkan apa yang sementara terjadi di antara kita, kini dan di sini.
Ada begitu banyak orang Kristen, kelompok-kelompok Kristen yang mengaku
berbahasa roh namun bahasa yang mereka pakai adalah bahasa yang aneh,
bahasa ekstatik yang diwarnai dengan luapan-luapan emosi yang kadang tak
terkendali dan bahasa yang sama sekali tidak dikenali di dunia ini dan
kadang hanya berupa desisan-desisan semata. Satu
dua kalimat yang hanya diulang-ulang seolah-olah seperti menghipnotis
diri sendiri. Ada pengkhotbah yang menyisipkan bahasa-bahasa aneh di
sela-sela doa dan khotbahnya, ada pemimpin pujian (Song Leader)
yang bahkan ‘berbahasa roh’ sambil bernyanyi atau bernyanyi dalam
‘bahasa roh’, (bernyanyi dalam roh?) ada pendeta yang dengan begitu
bangganya ‘berbahasa roh’ dari panggung-panggung KKR namun sayang
‘bahasa roh’nya lebih kepada suatu bahasa ekstatik yang hanya terdiri
dari beberapa kata atau kalimat yang diulang-ulang tanpa diterjemahkan
sama sekali. ‘Qua Vadis My Christianity?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar